Senin, 25 April 2011

DIMANA BURUH DIPOSISIKAN...???

”…dalam rangka menunjang kesejahteraan anggota Polisi Pamong Praja kantor Kecamatan Balaraja menjelang hari raya Idul Fitri 1430 H tahun 2009 M, kami mengajukan permohonan bantuan serta partisipasinya untuk memberikan tunjangan hari raya Idul Fitri kepada anggota kami dengan jumlah personel terlampir…”
Surat resmi dengan tanda tangan sekretaris camat dan cap kecamatan setempat itu dialamatkan ke salah satu pabrik di Serang, Banten, tertanggal 27 Agustus 2009.
Surat senada dikirim Komandan Komando Rayon Militer (Koramil). Surat resmi permintaan itu disertai cap dan ditandatangani Komandan Koramil itu. Kutipan berbunyi: Dengan dasar rencana kerja komandan Koramil..., bidang pembinaan teritorial dan kesejahteraan moril anggota dan dalam rangka menyambut Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1430 H, mohon kiranya Bapak berkenan memberikan dukungan THR untuk anggota.
Bagi pihak perusahaan, surat itu bukan permintaan biasa. ”Itu surat perintah wajib bayar,” kata Rano, bukan nama sebenarnya. Rano adalah karyawan bidang sumber daya manusia di perusahaan ekspor-impor peralatan rumah tangga di Serang.
Pihak perusahaan memang tak mungkin menolak surat seperti itu. Uang yang kemudian harus disetor setidaknya Rp 250.000 untuk setiap anggota. Kalau anggota yang dilampirkan enam personel, berarti Rp 1,5 juta yang wajib disetorkan.
Surat permintaan lain datang dari kepolisian, kantor kecamatan, kantor kelurahan, ketua rukun warga, hingga rukun tetangga. ”Belum lagi yang menelepon langsung ke kantor,” kata Rano, yang sudah lebih dari tiga tahun harus melayani permintaan ”upeti” dari berbagai pihak itu.
Selain hari raya dan tahun baru, permintaan serupa biasanya dikirimkan menjelang peringatan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus.
”Di luar itu, setiap bulan kami juga harus setor ke mereka walaupun jumlahnya tak sebesar hari-hari besar itu. Biasanya Rp 150.000-Rp 250.000 per institusi,” kata Rano.
Menurut Rano, yang bertubuh kurus, setoran harus selalu dibayarkan meskipun kondisi keuangan perusahaan sedang seret. Memenangkan setoran itu, buruh yang biasanya dikorbankan. ”Bisa dibilang, perusahaan lebih wajib membayar tunjangan hari raya (THR) ke aparat dan preman daripada ke buruhnya sendiri,” ungkapnya.
Untuk menghindarkan kewajiban perusahaan membayar THR, buruh yang diterima dengan sistem kontrak diputus masa kontraknya sebelum Lebaran. ”Setelah Lebaran, perusahaan dengan mudah akan membuka lowongan lagi. Begitu berulang,” ujar Bagus Musharyo, Koordinator Sekretariat Perburuhan Institut Sosial (SPIS) Jakarta.
Sistem telah membuat buruh tak berdaya dan lemah sehingga mudah disingkirkan.
Pelemahan
Pelemahan posisi tawar buruh dimulai sejak diterapkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya tentang perjanjian kerja waktu tertentu (Pasal 56 Ayat 2) dan tentang perusahaan pemborong dan penyedia jasa kerja (outsourcing). Sejak undang-undang itu diberlakukan, perekrutan buruh kontrak dan outsourcing lebih banyak dilakukan pihak ketiga dengan perlindungan atau relasi erat dengan para jawara.
Pelemahan itu kemudian melahirkan dan menyuburkan kembali praktik-praktik percaloan. Di lapangan, praktik itu lebih mirip perdagangan orang ketimbang sistem distribusi tenaga kerja yang memberikan keadilan. Di Serang, yang merupakan salah satu kantong industri di Indonesia, potret keterpurukan dan ketidakberdayaan buruh itu nyata.
Di Serang juga, UU No 13/2003 bertemu dengan ”pihak ketiga” yang telah ratusan tahun menjadi parasit ekonomi rakyat di daerah ini. Pihak ketiga itu tampil sebagai agen penyalur buruh. Mereka bisa aparat desa, kelompok jawara, aparat militer, polisi, hingga serikat buruh, yang mengambil keuntungan sendiri.
Hampir setiap karyawan baru yang mau masuk perusahaan di wilayah Serang dan Tangerang harus membayar jasa pada pihak ketiga ini. Calon buruh harus membeli formulir pendaftaran kerja Rp 25.000-Rp 60.000 per berkas kepada mereka. Variasi harga tergantung dari posisi yang ingin dituju.
Setelah diterima bekerja, mereka juga harus membayar uang jasa Rp 1 juta-Rp 3 juta, tergantung lamanya kontrak kerja yang didapat. Sistem pembayarannya ada yang di muka atau dicicil per bulan setelah kerja didapatkan. Ketika kemudian buruh itu mendapat kontrak baru, dia harus membayar lagi. Dengan sistem ini, hampir separuh pendapatan buruh selama bekerja disetor ke pihak ketiga.
Buruh telah menjadi ”sapi perahan” bagi ”aktivitas parasit” yang kerap berkedok perusahaan outsourcing ini. ”Semakin banyak PHK (pemutusan hubungan kerja) diartikan sebagai peluang akan adanya perekrutan tenaga baru. Perekrutan itu berarti keuntungan bagi perusahaan outsourcing dan para ’parasit’ itu,” kata Bagus.
Munculnya lembaga outsourcing, menurut penelitian SPIS, juga mengakibatkan implikasi yang sangat jauh. Pertama, terkikisnya energi kolektif dan keterwakilan yang selama ini diakui sebagai bagian dari komponen tawar dalam pasar kerja. Kedua, pergeseran pola hubungan industrial ke arah individualisme.
”Serikat pekerja diberangus dan dilemahkan. Bahkan, beberapa serikat pekerja menjadi agen penyalur buruh kontrak, sudah seperti perusahaan outsourcing. Sebuah ironi, tetapi ini terjadi,” ungkap Bagus.
Karena pelemahan ini, penyelesaian kasus sengketa buruh dengan perusahaan sering berlarut-larut. Kasus yang menimpa Kahar, Koordinator Forum Solidaritas Buruh Serang (FSBS), disebut Bagus sebagai contoh. Hampir dua tahun kasus hukumnya tak selesai. Untuk menopang hidup keluarga, selama proses hukum itu, Kahar menggantungkan hidup keluarga dengan bekerja pada perusahaan lain secara kontrak melalui perusahaan outsourcing. Sebuah ironi lain.
”Sejak lima tahun terakhir, hampir tak ada lagi perekrutan buruh tetap. Semuanya buruh kontrak,” kata Isbandi Anggoro dari Serikat Pekerja Metal Indonesia wilayah Serang.
Terhadap hal itu, buruh tidak berdaya. Usaha buruh berserikat dan mewariskan serikatnya pun terancam punah karena tidak adanya kepastian pekerjaan lewat sistem outsourcing yang sudah dikuasai pihak ketiga dengan relasi erat dengan jawara.
Posisi mulia jawara
Perjumpaan dengan para buruh di Serang dan Tangerang mengingatkan pada sistem ekonomi pengisapan yang dipraktikkan pemerintah kolonial. Waktu itu jawara, yang merupakan wajah Banten purba, menjadi penghubung di antara dua kutub, kuli dan majikan.
”Pada awalnya, jawara memiliki posisi mulia sebagai pembela rakyat kecil menghadapi kekuasaan kolonial. Mereka dahulu biasa disebut sebagai tentaranya para kiai,” ujar Lili Romli, peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Lili menyebutkan, sejak pemerintah kolonial datang, jawara terbelah. Ada yang setia dengan asal-usul sosial (social origin)-nya, tetapi banyak yang dimanfaatkan untuk alat kekuasaan karena kepentingan pragmatis para jawara. ”Transformasi jawara menjadi alat kekuasaan sempurna pada era Orde Baru,” ujar Lili.
Setelah 10 tahun reformasi, transformasi jawara makin masif. Selain menjadi alat kekuasaan, jawara mencengkeram dan berelasi erat juga ke semua lingkup kuasa. Sebut saja misalnya pengusaha, aparat pemerintah pusat hingga desa, pengadilan, tentara, polisi, partai politik, pengadilan, dan lembaga formal lainnya. Apa yang dialami para buruh dan juga pengusaha adalah contohnya.
Menurut Lili, jawara tidak hanya menjadi penghubung antara kuli dan majikan seperti wajah Banten purba. Kini, jawara juga telah masuk ke partai politik dan mendapat posisi utama karena kultur Banten memang menaruh hormat pada mereka. ”Tidak hanya untuk buruh, jawara kini juga menjadi broker untuk birokrat,” ujar Lili.
Di mata Lili, posisi jawara Banten memang tidak berubah meskipun buruh dan pengusaha jengah menghadapi mereka. Gurita kuasa jawara membuat penolakan atas kehadirannya terasa sia-sia. Lili mengharapkan ada intervensi pihak luar, dalam hal ini pemerintah pusat, untuk menghadirkan masyarakat madani (civil society) dan demokratisasi di Banten.
Namun, upaya itu tidak mudah. Para jawara yang telah mengooptasi hampir semua lini di Banten punya relasi kuat juga dengan penguasa pusat. Relasi itu nyata ketika kekuasaan pusat hendak dipertahankan penguasanya dalam pemilu.
”Karena itu, harus ada terobosan dari kelas menengah. Bersamaan dengan itu, perlu hadir kepemimpinan alternatif yang melibatkan jawara pada tempat mulianya sebagai pembela rakyat kecil, bukan pengisapnya,” ujar Lili.
Banten tentu menanti, setelah ratusan tahun relasi kekuasaan yang mengisap rakyat kebanyakan itu tidak berganti.
Oleh Wisnu Nugroho dan Ahmad Arif

Senin, 04 April 2011

BURUH MENUNTUT PERBAIKAN JALAN


 “Saya berangkat kerja jam 3 pagi. Supaya ‘gak kesiangan (ke tempat kerja). Tapi pulangnya selalu malam. Karena pagi maupun malam selalu macet,”  keluh Indah. Indah adalah satu dari 72.000 orang buruh nikomas. Ia telah bekerja empat bulan di bagian administrasi. Untungnya, Indah sekarang tinggal di mess. Ia tidak perlu khawatir macet membayanginya. Tapi, “Teman-teman saya pun sekarang selalu kesiangan. Mereka terjebak macet,” tambahnya. Cerita Indah tidak sendirian. Masyarakat yang melewati jalan Ciruas hingga Cikande atau Jalan Raya Serang-Jakarta Kabupaten Serang Banten harus rela menyia-nyiakan waktunya di atas kendaraan hingga dua jam. “Anak saya ditegur gurunya, karena selalu kesiangan masuk sekolah,” ujar seorang warga yang sedang mengantarkan anaknya ke sekolah. “Kalau udah macet, ayam pun kagak bisa lewat,” seloroh Triyono.


Menunggu di atas kendaraan bukan hal menyenangkan, apalagi bagi orang-orang hendak bekerja. Waktu yang terbuang berarti berkurangnya produktivitas bagi perusahaan. Bagi buruh, telat bekerja berarti malapetaka, “ Ada yang disuruh berdiri. Ada yang dicabut KPK-nya (Kartu Pengenal Karyawan). Dan yang pasti harus berangkat lebih awal,” tegas Indah.

Jalan Ciruas adalah jalur utama menuju Kawasan Nikomas Gemilang dan Kawasan Modern Cikande Estate. Ruas jalannya terbilang lebar lebih dari lima meter. Selain dilalui angkutan umum dan sepeda motor, jalan tersebut merupakan jalur utama mobil beroda empat, enam, delapan dan mobil-mobil pengangkut barang-barang pabrik lainnya. Persoalan muncul ketika ada bagian-bagian jalan yang berlubang. Bahkan, jalan di sekitar Pasar Tambak tidak beraspal. Jika hujan mendera, jalan tersebut dipastikan becek: air bercampur dengan tanah, setiap kendaraan pasti mencari ruang yang kering. Pejalan kaki tidak kebagian ruas jalan.

“Lebih dari sepuluh orang mengalami kematian. Belum terhitung yang kecelakaan akibat jalan yang buruk itu,” ungkap salahsatu Pengurus Dewan Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Nasional (DPC SPN) Kabupaten Serang. Sohari menambahkan, jalan berlubang menyebabkan kemacetan. Setiap kendaraan berupaya menghindari lobang-lobang itu.

Sementara itu, buruh-buruh yang bekerja di sekitar Cikande akan berpikir dua kali jika bertahan dalam kemacetan. Daripada kesiangan masuk kerja, lebih baik naik angkutan berkali-kali atau naik ojek. “Karena itu mereka harus mengeluarkan uang Rp 7.000 hingga 8.000. Harusnya, ongkos mereka itu Rp 3.000 sampai Rp 4.000.”

Pukul 06.00 WIB beberapa buruh telah berkumpul di sekitar Pasar Tambak Kecamatan Kibin Kabupaten Serang. Mayoritas perempuan. Ada pula buruh lelaki, yang menggunakan sepeda motor. Di pinggir jalan terlihat sebuah mobil kuning lengkap dengan empat sound dan gensetnya. Bendera organisasi menempel di bagian depan dan belakang mobil. Itulah mobil komando aksi. Di samping mobil itu, beberapa buruh perempuan memegang spanduk sepanjang lima meter. Ada dua spanduk. Isinya tidak jauh berbeda: jalan yang rusak telah mengorbankan jiwa, karena itu harus ada perbaikan jalan. Di seberang jalan saya beberapa perempuan asyik membagikan selebaran kepada pengedara mobil, sepeda motor dan pejalan kaki. Selebaran itu berukuran 20 cm X 15 cm. Isinya menceritakan mengenai Banten sebagai pusat industri, masyarakatnya taat pajak tapi jalannya rusak. Karena itu:
1.       Pemerintah segera memperbaiki Jalan Raya Serang-Jakarta dan memprioritaskan antara Ciruas sampai dengan Cikande.
2.       Dibuat peraturan Daerah tentang Izin Operasional Kendaraan Berat di Jalan Raya pada jam tertentu
3.       Membuat jalan alternatif untuk kendaraan 2, 4, 6, 8, 12, 16, dst.
4.       Memasang lampu penerangan jalan raya selanjang Jalan Raya Ciruas s/d Cikande dan seterusnya s/d Jawilan dan seterusnya
5.       Segera memperbaiki gorong-gorong antara Cikande s/d Selikur


Ruas jalan di Pasar Tambak sekitar sepuluh meter. Para demonstran memanfaatkan pinggir jalan untuk berkumpul. Hanya sekitar empat meter jalan itu beraspal. Sisanya berlantai tanah. Di samping kiri dan kanan berjejer toko, warung, dan bank. Toko-toko rata-rata menyediakan barang-barang elektronik. Di belakang toko tersebut ada kontrakan-kontrakan buruh dan rumah-rumah penduduk. Pasar Tambak adalah salah satu titik macet.  Tidak jauh dari Pasar Tambak adalah kawasan Industri Nikomas Gemilang, PT Spindo Mills, PT PWI, dan “Banyak pabrik di sana,” ujar Sugianto.

Pukul 07.00 WIB para buruh berdatangan. Mereka berencana melakukan protes ke Gubernur Banten Hajjah Ratu Atus Chosiyah. Setelah dirasa siap, sound mulai dinyalakan. Para buruh mulai mencoba suaranya: orasi. Berkali-kali orator mengajak masyarakat sekitar untuk terlibat aksi dan menuntut perbaikan jalan. Masyarakat pasar hanya melihat dan tetap menjalankan aktivitasnya.

Menurut para demonstran buruknya jalan telah merugikan semua pihak, tidak hanya buruh. “Perbaikan jalan adalah tanggung jawab negara,” teriak Triyono dari atas mobil komando. “Dari Pakupatan hingga Ciruas masih banyak begal (perampok) dan banyak kecelakaan,” ujar Sohari menegaskan pentingnya penerangan jalan.

Kendaraan melaju dengan pelan. Seorang pengurus dewan pimpinan cabang serikat berteriak, “Maju!.. Maju!.. Macetkan jalannya!”

Dua puluh meter dari tempat berkumpul adalah lorong jembatan layang yang menuju Jakarta. Tepat dilorong itu peserta aksi berhenti. Di panggir jalan, ada beberapa tukang ojek sedang duduk-duduk di warung kopi. Mereka mengacukan jempol sebagai pertanda setuju. Ada pula yang mendorong teman-temannya, “Hayu ikutan sana!”

Setelah memacetkan jalan. Peserta longmarch menaiki mobil, motor. Mereka memutuskan untuk langsung menuju Kantor Gubernur. 

Sepanjang jalan, pandangan masyarakat memandang penuh tanya: ada yang tersenyum, ada yang mengacungkan jempol. Peserta aksi rata-rata menggunakan sepeda motor, sisanya menyewa angkutan umum. Mobil komando berada di depan peserta aksi. Kadang peserta yang naik motor jalan lebih awal. Berdemonstrasi seperti mendapatkan kebebasan penuh. Lampu merah, lampu hijau dan kuning tidak ada artinya. Jalan terus. Kalau mau berhenti pun tidak masalah.

Ada beberapa polisi yang mengawal aksi. Salah satu polisi tampak kesal, karena dengan sengaja jalan dimacetkan oleh demonstran. “Hari ini kita macet, supaya nanti tidak macet lagi,” ujar orator dari atas mobil komando. Para demonstran semakin berani. Tumbuh kekuatan dari kebersamaan. Dengan menempelkan bendera bertuliskan SPN dengan latar putih, mereka seperti mendapat ajimat bebas teguran polisi. Di beberapa motor lain saya melihat bender berlatar biru dengan bertulisan RTMM KSPSI.

Sebenarnya, tidak hanya SPN dan KSPSI yang beraksi. Di selebaran ada banyak organisasi yang terlibat seperti LMP Jawilan, Aliansi Masyarakat Peduli (AMP Banten), Paguyuban Angkot Serang Timur (PASTI), Ikatan Mahasiswa Serang Timur
(IMASETI), Ikatan Pelajar Serang Timur (IPASETI), Perjuangan Rakyat Miskin Serang Timur (PARAM SETI), Aliansi Masyarakat Kawasan Industri (ALMAKI), BPPK Banten, Tokoh Pemuda dan Masyarakat Timur, Jaringan Informasi Elit-Serang Timur (JIE SETI), Jaringan Advokasi dan Monitoring Pekerja Indonesia (AMPI). Hari itu mereka menamakan diri Gerakan Masyarakat Serang Timur.

“Ia sih, yang ada cuman SPN dan SPSI,” ujar Triyono. Ia tidak merasa aneh jika yang terlibat hanya beberapa organisasi. Meski di selebaran disebutkan beragam organisasi.

Sekitar pukul 11.00 WIB peserta aksi berada di kantor Gubernur Banten. Peserta aksi tumpah ruah. Motor diparkir. Sebagian peserta ada yang berteduh di pendopo. Ada juga yang tampak berkerumum. Sekali lagi, peserta aksi bergantian berorasi. Para wartawan berebut mengambil gambar, dan meminta selebaran. Polisi berjejer di pinggir. Gaya berorasi beda-beda. Ada yang memaki, ada pula yang memelas seperti orang kehausan, dan ada pula yang menggunakan bahasa daerah. Beberapa perempuan dengan semangat berorasi mengeluarkan unek-unek dan kekesalan mereka.

Dari dalam Kantor Gubernur ada sebuah suara yang menyatakan bahwa aksi mereka diterima. “Silakan sepuluh orang masuk.” Itulah pertanda negosiasi antara warga dan pemerintah akan berjalan.

Aksi terus berjalan. Suasana sempat riuh ketika sepasukan seniman Janthilan bermain. Atraksinya bertema seorang penguasa yang lalim. Keadaan semakin gegap ketika beberapa buruh memainkan teater. Teater itu menceritakan mengenai pemerintah yang lebih sibuk mengurus proposal dengan pengusaha, sementara jalan dibiarkan tanpa perawatan dan mengakibatkan korban.

Menuju pukul 14.15 WIB negosiasi berakhir. Akhirnya, pemerintah yang diwakili dinas tenaga kerja dan dinas pekerjaan umum keluar dan mengumumkan hasil-hasil negosiasi. Inti negosiasi itu menyatakan bahwa Pemerintah Daerah Provinsi Banten akan merealisasikan perbaikan infrastruktur Jalan Lintas Provinsi sepanjang 7,5 KM yang pelaksanaannya akan segera dimulai secepatnya atau paling akhir pertengahan bulan April. 



29 Maret 2011
Syarif Arifin